Thursday, April 9, 2015

Baju Untuk Ayah

Samuel masih menyelesaikan sarapannya. Kebiasaan yang dilakukan setiap pagi. Ibunya tidak pernah mengijinkan dia meninggalkan rumah sebelum sarapan. Beberapa saat kemudian ayahnya datang menghampiri. "Hari ini mama masak apa?" Ayahnya mencoba bertanya dengan niat membuka pembicaraan. 

"Liat aja sendiri." Jawab samuel dengan sinis. Ayahnya menghela nafas panjang. Ditatapnya wajah samuel dalam-dalam. Ada perasaan terluka dihatinya. Hubungannya dengan samuel memang tidak terlalu baik. Samuel begitu membenci ayahnya. Sejak kecil ayahnya selalu bersikap kasar. Memukul, memaki dia, ibu dan kakanya yang saat ini sudah menikah. Ayahnya sadar bahwa ini adalah upah dari perbuatannya terhadap keluarganya selama ini, oleh karena itu dia tidak pernah marah melihat sikap Samuel seperti itu terhadapnya.

Setahun belakangan ini ayahnya berubah. Tepatnya setelah divonis dokter bahwa dia terserang kanker otak stadium tiga. Tidak ada pengobatan yang dapat dijalaninya. Mereka juga bukan berasal dari keluarga berada. Pekerjaan ayahnyapun sebagai pedagang terhenti setelah ia sakit. Kini Samuel lah tulang punggung keluarganya. 

Samuel merasa kesal jika mengingat semua kelakuan kasar ayahnya dulu. Kenapa baru berubah sekarang setelah sakit parah. Apa karena sakit? Ga bisa berpenghasilan lagi? Atau takut diusir dari rumah? dasar manja! Kata-kata yang selalu berkutat dipikiran samuel. Kalau bukan karena ibunya, Samuel benar-benar tidak ingin mengurus ayahnya. Menyusahkan saja!

Ibunya menghampiri mereka berdua untuk mencairkan suasana. "Sarapannya pada diabisin dong.. Sam.. nambah nak.." Diusapnya kepala anak laki-lakinya itu. "Kenyang mah. lain kali dia suruh makan dikamar aja. Males samuel makan bareng dia." Samuel mencium tangan dan kening ibunya untuk berpamitan kemudian pergi.

Airmata kepedihan menggenang disudut mata ayahnya. Ada perasaan sakit dan terpukul, jauh lebih sakit daripada kanker yang dideritanya. Istrinya menggenggam tangannya erat. "Dia butuh waktu.. bersabarlah yah.." Kemudian memeluk erat suaminya yang sudah sangat kurus karena terus menerus digerogoti penyakit.

Samuel pergi dengan perasaan kacau. Emosi, kesal, marah tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Disisi lain dia juga kasihan melihat keadaan ayahnya semakin melemah setiap harinya. Dia sama sekali tidak diberitahu oleh ayah dan ibunya penyakit apa yang sebenarnya diderita oleh ayahnya. yang dia tahu ayahnya hanya sakit-sakit biasa. Sakit orang yang sudah berusia lanjut. Ayahnya sengaja merahasiakan ini. Dia tidak ingin menyusahkan samuel diakhir masa hidupnya. 

Sepulangnya bekerja samuel langsung merebahkan tubuhnya disofa. Dari pintu kamar dilihat ayahnya berjalan dengan tergopoh-gopoh menghampirinya. Samuel menghela nafas dengan kasar. Ayahnya tahu itu respon atas kehadirannya. Tapi ditepisnya pikiran itu dan kemudian duduk disamping putra kesayangannya. 

"Ayah tahu ayah sangat menyulitkanmu.. Boleh ayah minta satu permohonan sam? Setelah itu ayah janji ga akan pernah ganggu kamu lagi.." Ada perasaan getir menghampiri hati Samuel tapi karena gengsi dia tidak menghiraukan perasaannya.

"Mau minta apa?" Jawab samuel sambil terus memencet remote tv untuk mencari acara yang bagus.
"Ayah mau punya baju satu pasang. Ayah ga punya baju bagus. Selama ini cuma berdagang jadi ga pernah punya baju bagus.. boleh yah sam..? Ayah janji ga akan pernah ganggu kamu lagi kalau baju itu sudah jadi.." Ayahnya bicara sambil tertunduk sedih. Samuel melirik. Hatinya terketuk perasaan iba yang terhalang oleh gengsi dan dendam.

"Oke. Nanti aku ketempat tukang jahit. Minta mereka buatin baju untuk ayah. Dan aku harap ayah penuhin janji ayah untuk ga pernah ganggu aku lagi." Samuel berucap dingin. Ayahnya menatap haru kearah Samuel. "Ga usah ngeliatin kaya gitu." Ucap Samuel kemudian bangun dan meninggalkan ayahnya diruang tamu, masuk kekamar dan membanting pintunya.

Esok hari sepulang kerja Samuel mendatangi salah satu penjahit yang tidak jauh dari rumahnya.

"Yang model begini biasanya dua minggu baru selesai mas." Sang penjahit menjelaskan sambil memandang setiap detail model pakaian yang diinginkan Samuel dengan ukuran yang ditiru dari contoh baju ayahnya yang dibawa samuel
.
"Lama banget bang. Seminggu aja gimana? Makin cepet jadinya makin bagus buat saya soalnya."
"Duh.. ngantri soalnya."
"Saya bayar dua kali lipat."
"Siap!" Sahut sang penjahit tanpa berfikir dua kali.

Benar memang, setelah meminta baju itu ayahnya tidak pernah memunculkan dirinya dihadapan Samuel. Kalaupun tidak sengaja berpapasan, maka ayahnya akan segera berbalik arah dengan ketakutan dan menghindari Samuel. Kembali rasa getir menyelimuti perasaan Samuel. Keadaannya seperti itu terus. sampai suatu pagi, Ayahnya mengejar Samuel yang ingin berangkat bekerja.

"Sam tunggu nak.." Samuel berbalik badan dan memasang wajah kesal. "Apalagi sih yah!" Ga usah ganggu bisa ga? Sam mau berangkat kerja!!"

Entah kenapa kali ini sam begitu sakit setelah berkata begitu. Dia sebetulnya ingin sekali berbicara dengan baik pada ayahnya. Dia mulai menyadari bahwa keadaan ayahnya sudah begitu mengkhawatirkan. Begitu kurus, lemah, dan tua. Lingkaran matanya menghitam. Tapi Samuel berusaha tetap sinis.

"Ayah cuma mau peluk kamu nak.. terakhir ini aja.. ga lagi-lagi.."
"Aaaahhh.. banyak minta deh! Kemarin bilang kalo aku buatin baju ayah ga akan ganggu aku lagi. Ga usah bawel. Bajunya nanti malam jadi!" Samuel menarik gas motornya kencang-kencang dan meninggalkan rumah tanpa pamit. Dua butir airmata mengalir dikedua mata ayahnya. "Ayah mohon maafkan ayah nak.. maaf.." Bisik ayahnya penuh perasaan sakit.

Saat jam makan siang Samuel menceritakan keinginan ayahnya itu kepada sahabatnya Nadia. Nadia menggelengkan kepala. "Tega lu yah. seperti apapun bokap lu dulu, inget sam.. dia juga manusia biasa kaya lu. Bisa bikin salah, bisa menyesal, dan butuh maaf.. Maafin dia Sam.. Selagi masih bisa.. selagi masih ada waktu.. umur seseorang ga ada yang tau sampai kapan.." mendengar perkataan ini samuelpun sadar. 

"Gue pamit pulang yah.. bilang sama bos gue sakit... Gue mau nemuin ayah. mau ambil bajunya dia dan kasih surprise kalo gue mau meluk dia bukan sekali ini aja tapi berkali-kali.."
Nadia mengangguk tersenyum penuh haru.

Samuel segera mengambil bajunya ditempat penjahit. Dimintanya penjahit itu untuk membungkus bajunya dengan  kertas kado yang dibelinya saat dalam perjalanan. Setelah siap diapun pulang kerumah. Handphonenya bergetar berkali-kali. "Ayah. Ga usah diangkat ah. Paling mau bilang jangan lupa makan siang. Toh juga mau ketemu. Biar makin surprise." Ucapnya dalam hati sambil tersenyum.

Setibanya dirumah, dia melihat ada banyak orang berkumpul dihalaman rumahnya. Semuanya terlihat sibuk. Seorang bapak-bapak datang menghampiri dan menepuk pundaknya seraya berucap "Sabar yah sam.." Sam tidak mengerti. Ada perasaan takut yang menghinggapi pikirannya dan membuat langkahnya semakin berat. Memasuki ruang tamu dilihatnya banyak orang berkumpul didepan pintu kamar ayahnya. Ada suara tangis mamanya disana. Airmatanya mengalir. Hatinya berusaha menepis apa yang ada dalam pikirannya. 

Betapa terkejutnya ketika dia tiba diambang pintu kamar. Ayahnya terbujur kaku dengan mata terpejam damai. "Saaammm... ayah udah ga ada!!! Bangunin sam.. Bangunin ayah untuk mamaaa.. banguniiinn.." Mamanya menjerit hiteris dipelukan Samuel. Kakanya menghampiri dan memeluk mamanya. Sam melepaskan pelukannya dan menghampiri ayahnya yang sudah tidak bernyawa. Dipegangnya tangan ayahnya. Dingin.. Samuel jatuh berlutut disamping ayahnya dengan tangan kanannya tetap memegang jemari ayahnya yang tidak lagi sehangat dulu.

Mata ayahnya tertutup dengan damai. Mata yang selalu dibuat Samuel menangis karena sikapnya. Tubuhnya begitu kurus. Keriput pada wajah ayahnya menggambarkan pengorbanan dan lelah yang luar biasa. Terbayang kembali wajah ayahnya pagi tadi yang memohon sebuah pelukan darinya. 

Airmata membanjiri wajah samuel. "Ini baju ayah.. udah Sam ambil.. Ayah pasti gagah pakai ini.. Hari ini Sam sengaja pulang lebih awal supaya bisa meluk ayah.. tapi kenapa ayah pergi..?" Samuel tertunduk tak berdaya. Dicengkeramnnya bungkusan kado ditangan kirinya hingga robek. Hatinya begitu sakit, sesak..

Kakaknya menghampirinya dan menyampaikan apa yang ayah mereka sampaikan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.
"Ayah bilang.. 'pakaikan ayah baju yang nanti dibawa Sam.. ayah ingin terlihat luar biasa saat meninggal dengan baju yang diberikan oleh anak laki-laki kebanggan ayah itu. Ayah tahu.. walaupun sikapnya tidak pernah manis pada ayah.. tapi ayah yakin dia selalu menyayangi ayah..' itu pesan ayah untuk kamu Sam.." kakaknya berucap dengan terbata-bata.. Sekali lagi rasa sakit menghujam jantungnya. Sam merasa sesak.. Tidak pernah dirasakannya sakit yang seluar biasa ini. 

Bisakah waktu diputar ulang. Aku tidak akan pernah menyi-nyiakan waktu kebersamaan kita selama ini yah.. Sam akan menjadi anak laki-laki yang ayah mau.. Perasaan kehilanganmu ternyata jauh lebih sakit daripada pukulan yang ayah berikan padaku saat aku masih kecil dulu.. Aku merindukanmu yah.. merindukan saat-saat ayah memarahiku.. bisa kita mengulang semuanya dari awal? Andai aku tahu sakit karena kehilanganmu seperti ini rasanya mungkin dulu aku tidak akan memelototi ayah saat ayah memarahi aku.. Tapi aku akan peluk ayah untuk bisa meredakan amarahmu.. bisa kita mengulangnya kembali..? aku tak akan pernah menyia-nyiakannya...

Airmata Sam mengalir tanpa henti. Berkali-kali dia meminta pada Tuhan untuk menghidupkan ayahnya kembali. Tapi tidak mungkin. Yang sudah pergi biarkan pergi, jangan pernah diharapkan kembali. Yang terpenting bagaimana kita melakukan yang terbaik bagi orang yang kita sayangi sebelum waktu kebersamaan habis tanpa makna..

No comments:

Post a Comment